Surveyor...........

on Jumat, 17 Juni 2011



Apa yang ada dipemahaman orang umum khususnya di dunia pertambangan dan konstruksi, surveyor adalah sekelas operator, hanya yang ini alat yang dioperasikan adalah alat ukur. Dan tentu saja sangat memungkinkan hal itu dipelajari oleh orang yang sebelumnya nol di bidang survey/pemetaan, seperti orang yang belajar nyetir mobil. Awal mula karir surveyor berpengalaman biasanya ia bekerja sebagai helper surveyor yang bertugas memegang tongkat prisma/rambu, dan dengan bekal keingintahuan dan kesempatan dia mulai belajar sedikit demi sedikit mengoperasikan alat ukur serta teknik-teknik dasar survey. Hingga suatu waktu dia bisa mengoperasikan alat survey. Saat ada kesempatan untuk menjadi seorang surveyor di suatu perusahaan, melamar lah dia dan akhirnya diterima oleh perusahaan tersebut. Itulah yang bisa disebut sebagai surveyor berpengalaman.

Surveyor sekolahan lain lagi ceritanya, mereka memang sudah berniat untuk mendalami ilmu survey/pemetaan dari bangku sekolah, mulai dari tingkat D1 sampai S1. Khusus jenjang S1, sekolah survey/pemetaan dikenal sebagai Geodesi dan sekarang sedang memperkenalkan nama barunya sebagai Geomatika. Saat ini sudah ada beberapa perguruan tinggi yang mempunyai jurusan Geodesi/Geomatika, sebut saja ITB, UGM, ITENAS Bandung, ITS Surabaya, ITN Malang, bahkan dulu sempat ada di UNPAK Bogor. Nah, ilmu survey/pemetaan yang dipelajari di bangku sekolah tersebut sangat detail dan kompleks. Apa yang dipelajari oleh para surveyor berpengalaman adalah ilmu dasar yang diajarkan, pada tahap selanjutnya diberikan berbagai macam aplikasi, cabang, dan ragam dari ilmu survey/pemetaan baik itu pemetaan darat, pemetaan laut, pemetaan udara. Loh, emang udara bisa dipetakan? Tentu saja bisa, dengan teknologi dan teknik pengukuran yang makin canggih, kita bisa memetakan kandungan zat atau materi yang terdapat di atmosfer.

Profesi Geodesi dan Geomatika

Mungkin banyak orang awam yang belum mengetahui apa itu keilmuan Geodesi & Geomatika (G & G) dan profesi apa saja yang bisa digeluti oleh orang-orang yang menggeluti keilmuan Geodesi & Geomatika. Memang bidang keilmuan ini belum diketahui secara luas oleh masyarakat awam, akan tetapi keilmuan yang berada di lingkup G & G sangat banyak dan tersebar di segala bidang, hanya orang-orang saja yang tidak mengetahui bahwa pekerjaan itu termasuk ke dalam bidang G & G.

Mungkin ketika orang mendengar bahwa kita kuliah di Teknik G & G banyak yang mengerutkan keningnya. “Apa itu Geodesi?”, “Kerja apaan di Geodesi?”. Itulah beberapa pertanyaan yang mungkin terlontar dari orang-orang. Indikasi lain bahwa bidang keilmuan G & G belum banyak dikenal bisa dilihat dari jumlah peminat di PTN atau PTS, misalnya UGM. Sejak zamannya memilih langsung jurusan waktu SPMB sampai sekarang yang “diasramakan” di masa-masa TPB, G & G selalu menjadi prioritas terakhir (walaupun ada yang memilih menjadi prioritas pertama). Itu karena ketidaktahuan mereka, tentu saja.

Padahal kalau saja mereka tahu dan banyak digalakan promosi tentang keilmuan ini, peminat yang membludak adalah keniscayaan. Mengingat bahwa bidang keilmuan ini mengalami dinamisasi sesuai dengan perjalanan zaman, perkembangan IPTEK dan kesadaran umat manusia akan pentingnya informasi spasial. Ya, informasi spasial merupakan modal dasar dalam keilmuan G & G, secara umum ilmu G & G bergelut dengan koordinat segala objek yang berada di semesta ini sebagai informasi spasialnya, yang tentu saja akan dipergunakan untuk berbagai keperluan.

Dalam perkembangannya yang awal sekali ada adalah ilmu Geodesi, adapun Geomatika merupakan jawaban dari perkembangan IPTEK dan peradaban umat manusia. Geodesi adalah bidang ilmu inter-disiplin yang menggunakan pengukuran-pengukuran pada permukaan Bumi serta dari wahana pesawat dan wahana angkasa untuk mempelajari bentuk dan ukuran bumi, planet-planet dan satelitnya, serta perubahan-perubahannya; menentukan secara teliti posisi serta kecepatan dari titik-titik ataupun objek-objek pada permukaan bumi atau yang mengorbit Bumi dan planet-planet dalam suatu sistem referensi tertentu; serta mengaplikasikan pengetahuan tersebut untuk berbagai bidang aplikasi ilmiah dan rekayasa menggunakan matematika, fisika, astronomi, dan ilmu komputer

Sedangkan Geomatika adalah suatu terminologi ilmiah modern yang mengacu pada pendekatan terpadu dari pengukuran, analisis, pengelolaan, penyimpanan dan penyajian deskripsi dan lokasi dari data yang berbasis muka bumi, yang umumnya disebut data spasial. Geomatika muncul dalam konteks integrasi beberapa profesi atau disiplin ilmu yang saling berhubungan dengan bidang geo-informasi.

Geomatika ada sebagai jawaban dari perkembangan yang pesat bidang geodesi, yang menuntut adanya spesifikasi kajian dari implementasi ilmu geodesi yang terintegrasi dengan ilmu lainnya untuk mengeksplor secara detail geoinformasi. Dari sini kita dapat melihat bahwa Geodesi merupakan tatanan dasar penting bagi Geomatika, terlepas dari kita ingin memilah-milah keberadan keilmuan tersebut, atau tidak.
Berikut ini merupakan penjelasan dari sebagian kecil keprofesian kita.

> Pengukuran bidang Tanah
Ini merupakan pekerjaan khasdalam geodesi.Masyarakat tentu lebih mengetahui pekerjaan ini disbanding pekerjaan geodesi lainnya. Ini merupakan pekerjaanyang boleh dibilang kuno, pengukuran bidang tanah telah ada sejak zaman Firaun berkuasadi Mesir. Tujuannya tentu saja untuk mendapatkan koordinat ujung-ujung persil tanah yang akan dibuat menjadi peta. Dari pengukuran ini bisa diketahui luas persil tersebut, yang nantinya akan dipergunakan untuk keperluan perpajakan seperti PBB, urusan jual beli tanah, keperluan informasi RTRW dan RTRK, perekayasaan jalan, lingkungan dll. Institusi yang bergelut di bidang ini yaitu BPN dan ada juga banyak perusahaan swasta.

Peralatan yang biasa digunakan adalah teodolit dengan berbagai tipe dari yang kuno sampai yang paling modern seperti ETS dsb. Selain perkembangan alat, metode pengukuran tanah pun berkembang, misalnya dengan menggunakan metode stop and go dengan menggunakan GPS kinematik. Kelebihannya adalah bentuk/peta persil bisa langsung didapatkan karena pengukuran bidang tanah dilakukan secara real time.

> Sistem Navigasi.
Sistem navigasi yang dipergunakan mulai dari yang konvensional sampai modern. Dari penggunaan geodesi astronomis, dengan menggunakan bintang dan matahari untuk mengetahui posisi lintang dan bujur kita (φ dan λ) sampai penggunaan satelit, seperti GPS, GLONASS, dan GALILEO.

Sistem navigasi ini dipergunakan oleh berbagai macam moda transportasi di bumi. Kendaraan pribadi, pesawat terbang, kapal laut, kereta api bahkan peralatan perang modern pun menggunakan sistem navigasi. Sistem navigasi ini beperan dalam memandu objek yang sedang dalam perjalanan agar tidak tersesat. Dan bahkan informasi posisi dalam pernavigasian sangat berharga untuk melakukan SAR secara cepat ketika terjadi kehilangan kontak atau kecelakaan pada objek tersebut.

> Pencitraan Satelit.
Pencitraan satelit merupakan produk modern dalam keilmuan Geodesi. Penggunaan citra satelit diantaranya adalah untuk keperluan militer (mata-mata), identifikasi luas hutan, lahan komersial, pertanian, perkebunan, dan perikanan, pengawasan kebakaran hutan, rekonstruksi bencana alam (tsunami, longsor) dll.

> Geodesi Satelit.
Geodesi Satelit dapat didefinisikan sebagai sub dari bidang ilmu geodesi yang menggunakan bantuan satelit (alam ataupun buatan manusia) untuk menyelesaikan problem-problem geodesi. Menurut Seeber (1993) Geodesi Satelit meliputi teknik-teknik pengamatan dan perhitungan yang digunakan untuk memecahkan problem-problem geodesi dengan menggunakan pengukuran-pengukuran yang teliti ke, dari, dan antara satelit buatan yang umumnya dekat dengan permukaan bumi. Geodesi satelit memiliki banyak aspek-aspek keilmuan, yang secara umum diantaranya meliputi teori orbit, sinyal dan propagasi, dinamika satelit, sistem waktu, sistem koordinat, dan lain-lain.

Sistem geodesi satelit tertua adalah sistem astronomi geodesi yang berbasiskan pada pengamatan bintang, dan sampai saat ini masih digunakan meskipun terbatas pada aplikasi-aplikasi tertentu saja. Sebagai contoh metode ini telah digunakan sejak 1884 untuk penentuan lintang secara teliti di Potsdam. Disamping itu metode astronomi geodesi ini juga sudah berkontribusi dalam pengamatan pergerakan kutub (polar motion) sejak tahun 1890 (FGS, 1998).

Teknik fotografi satelit merupakan teknik geodesi satelit (buatan) tertua. Metode fotografi satelit ini berbasiskan pada pengukuran arah ke satelit, yaitu dengan pemotretan satelit berlatar bintang-bintang yang telah diketahui koordinatnya. Dengan menggunakan jaringan kamera Baker-Nunn, metode ini telah dimanfaatkan untuk menjejak satelit-satelit buatan generasi awal seperti Sputnik-1 dan 2, Vanguard-1, dan GEOS-1 pada era 1957 sampai awal 1960-an; dan telah berhasil mengestimasi penggepengan serta bentuk “pear-shape” 7 dari Bumi.

Metode LLR (Lunar Laser Ranging) yang berbasiskan pada pengukuran jarak ke Bulan dengan menggunakan sinar laser, mulai berkembang sejak tahun 1969, yaitu sejak ditempatkannya sekelompok reflektor laser di permukaan Bulan oleh misi Apollo 11. Metode yang prinsipnya sama dengan metode SLR (Satellite Laser Ranging) ini, masih digunakan sampai saat ini. Sedangkan metode VLBI (Very Long Baseline Interferometry) yang berbasiskan pada pengamatan gelombang radio yang dipancarkan oleh kuasar pada dua lokasi pengamatan yang berjarak jauh, mulai umum digunakan sejak tahun 1965 dan sampai saat sekarang ini masih dimanfaatkan untuk aplikasi-aplikasi geodetik berketelitian tinggi.

Sistem satelit altimetri yang berbasiskan pada pengukuran jarak muka laut dari satelit dengan menggunakan gelombang radar mulai berkembang pada tahun 1973, dengan diluncurkannya satelit Skylab yang merupakan satelit pertama yang membawa sensor radar altimeter. Sistem satelit altimetri ini terus dimanfaatkan sampai saat ini dengan menggunakan misi-misi satelit terbaru seperti Topex/Poseidon dan Jason, terutama untuk mempelajari karakteristik dan dinamika lautan dan interaksinya dengan fenomena-fenomena atmosfir.

Dalam konteks sistem satelit navigasi, sistem TRANSIT (Doppler) adalah sistem satelit navigasi yang pertama dibangun. Sistem ini didesain pada tahun 1958, dan dinyatakan operasional pada tahun 1964 (untuk pihak militer) dan 1967 (untuk pihak sipil). Pada saat ini sistem satelit ini praktis sudah tidak digunakan lagi, tergantikan oleh sistem-sistem GPS dan GLONASS [Abidin, 2000]. Kalau diringkaskan maka sistem-sistem yang masih banyak dimanfaatkan dalam bidang geodesi satelit saat ini adalah sistem-sistem SLR, LLR, VLBI, satelit altimetri dan satelit navigasi GPS dan GLONASS, InSAR, Satelit Gravimetrik (GOCE, GRACE) dan nanti akan muncul Satelit Galileo.

Pemanfaatan sistem pengamatan geodesi satelit pada saat ini sangat luas spektrumnya. Spektrum aplikasinya mencakup skala lokal sampai global, dari masalah-masalah teoritis sampai aplikatif, dan juga mencakup matra darat,laut, udara, dan luar angkasa. Contoh beberapa aplikasi geodesi satelit diantaranya untuk bidang aplikasi geodesi global (penentuan parameter-parameter orientasi Bumi,penentuan model dari Bumi, termasuk dimensi dari ellipsoid referensi nya,penentuan model medan gaya berat Bumi, termasuk geoid globalnya,studi-studi geodinamika,pengadaan kerangka referensi global, dan Unifikasi datum-datum geodesi (termasuk datum regional, datum nasional, dan datum lokal)), studi geodinamika (pengadaan jaringan pemantau untuk mempelajari pergerakan lempeng (plate/crustal motions) ataupun sistem sesar (fault system),penentuan parameter-parameter pergerakan kutub (polar motion) dan rotasi bumi (earth rotation), dan penentuan parameter-parameter dari pasang surut bumi), penentuan titik kontrol geodesi (pengadaan kerangka dasar titik-titik kontrol (nasional maupun lokal), pembangunan jaringan titik kontrol 3-D yang homogen,analisa dan peningkatan kualitas dari kerangka titik kontrol terestris yang ada,pengkoneksian kerangka geodetik antar pulau, dan densifikasi dan ekstensifikasi dari jaringan titik kontrol), navigasi dan geodesi kelautan (navigasi dan penjejakan (tracking), baik untuk wahana darat, laut, udara, maupun angkasa,penentuan posisi untuk keperluan survei pemetaan laut (hidrografi, oseanografi, geologi kelautan, geofisika kelautan, eksplorasi, eksploitasi,pengkoneksian antar stasion pasut (unifikasi datum tinggi),penentuan SST (Sea Surface Topography), dan penentuan pola arus dan gelombang).

Sumber : http://gd.itb.ac.id

> Earthquake Geodesy
Pada awal tahun 90-an, mulai dikenal istilah “Earthquake Geodesy”, yang dapat dipaparkan secara umum sebagai kontribusi data geodetik dalam bidang kajian gempa bumi. Interdisiplin ilmu bagi bidang seismologi ini dirasakan pengaruhnya cukup positif dalam upaya untuk lebih memahami mekanisme dari fenomena kejadian gempa bumi. Data geodetik (contoh data GPS dan InSAR) dapat mendokumentasikan kejadian-kejadian deformasi dalam sebuah aktifitas gempa bumi seperti tahapan akumulasi deformasi sebelum terjadi gempa bumi (interseismic deformation), tahapan terjadinya ketidakmampuan kerak bumi dalam merespon akumulasi energi deformasi kemudian menghasilkan gempa bumi (co-seimic deformation), tahapan deformasi ketika release energy pasca gempa bumi (post-seismic) dan tahapan lainnya. Hasil dokumentasi yang diberikan data geodetik tersebut telah memberikan kontribusi yang besar bagi pemahaman secara fisik dari kejadian alam yang berkaitan dengan masalah gempa bumi tersebut (Hudnut, 1994).

> Sistem Informasi Geografis (SIG)
SIG adalah sebuah sistem yang berkaitan dengan manajemen data spasial dan data-data atributnya. Yang bekerja dengan menggunakan komputer yang melingkupi kegiatan penggabungan data, penyimpanan data, editing, analisis, dan visualisasi data dan informasi spasial. Atau dengan kata lain SIG ini merupakan smart map, karena ia bisa menjadi alat yang efektif untuk melakukan berbagai macam query yang interaktif (pengguna bisa memilih dan mencari data sendiri dengan bebas), analisis data dan pengeditan data.

SIG bisa dipakai dalam berbagai macam kehidupan dan aktivitas, mulai dari LSM-LSM yang mengurusi masalah lingkungan, dan sosial, keperluan komersial, minyak dan gas, barang tambang lainnya, sekolah, institusi pendidikan, sampai pada urusan politik bisa dibantu dengan menggunakan SIG ini. Produk lainnya yang sedang berkembang adalah Google Earth, 3-D building dengan LIDAR, dll.

>Kerekayasaan Perairan
Dewasa ini banyak sekali pekerjaan di laut, misalnya pengeboran lepas pantai, peletakan pipa dan kabel bawah laut, aktivitas penangkapan ikan, Early warning system untuk keperluan mitigasi bencana alam di laut, dll. Kesemua aktivitas itu tidak bisa lepas dari keilmuan G & G, seperti yang telah dijelaskan di atas. Mulai dari koordinat, 3-D modeling, survey batimetrik, pengoperasian robot bawah laut (ROV), pengukuran sedimentasi muara, sungai, dan danau, pemanfaatan SIG, penggunaan GPS fish finder, dll.

Jadi siapa bilang profesi Geodesi & Geomatika terbatas atau hanya terbatas pada kegiatan pengukuran bidang tanah. Anda semua bisa menyimpulkan sendiri bahwa bidang keilmuan ini adalah bidang keilmuan yang dinamis dan bisa berada di mana saja. Darat, laut dan udara, dari urusan sosial sampai politik, mitigasi bencana sampai pada urusan komersial. Kerekayasaan sampai urusan migas dan barang tambang. Satu hal yang pasti G & G tidak bisa dilepaskan dari koordinat/informasi spasial. Dari sinilah bisa diturunkan banyak sekali profesi-profesi yang memang sangat bermanfaat dan memperkaya peradaban manusia.

(by Yasir Agus Hartanto, Teknik Geodesi UGM 2009)

Geologi Struktur Indonesia

on Senin, 18 Oktober 2010

Evolusi Morfotektonik Zona Rembang

BAB I. STRATIGRAFI

Mandala Rembang termasuk dalam cekungan Jawa Timur utara. Secara historis penggunaan nama-nama satuan stratigrafis pada zona ini semula hanya digunakan secara terbatas, tak terpublikasikan, pada dilingkungan perusahaan minyak Belanda BPM (Batafsche Petroleum Maatschapij), yaitu pendahulu perusahaan Shell, yang dulu memegang konsesi daerah Cepu. Nama-nama formasi secara resmi baru mulai digunakan oleh Van Bemmelen (1949) dan Stratigraphic Lexicon of Indonesia oleh Marks (1957). Harsono (1983) melakukan perubahan dari nama-nama tak resmi seperti globigerina marl atau Orbitoiden-Kalk dengan memberikan nama yang baru, menetapkan lokasi tipe, sesuai dengan Sandi Stratigrafi Indonesia. Penentuan umur secara teliti dari setiap formasi dengan menggunakan pertolongan fosil foraminifera plangtonik telah dilakukan oleh Harsono (1983).

Zona rembang dimulai dari ujung barat perbukitan di selatan Demak, memanjang ke arah timur dan timur laut memasuki wilayah Jawa Timur, memanjang melewati Pulau Madura, terus ke arah timur hingga ke Pulau Kangean. Arah memanjang perbukitan tersebut mengikuti sumbu-sumbu lipatan, yang pada umumnya berarah barat-timur. Di beberapa tempat sumbu-sumbu ini mengikuti pola en echelon yang menandakan adanya sesar geser lateral kiri (left lateral wrenching faulting).

Bagian utara dari antiklinorium rembang yang mengandung formasi batuan berumur miosen awal, telah mengalami pengangkatan dan erosi. Suatu kelompok antiklin yang terdapat di bagian selatan dikenal sebagai zona rembang tengah dan selatan, juga sering disebut sebagai Cepu Trend. Batuan tertua yang tersingkap di bagian ini berumur miosen akhir, yang kebanyakan mengandung minyak. Batuan yang berfungsi sebagai reservoar hidrokarbon yang utama di daerah rembang adalah batupasir ngrayong (miosen tengah) sedangkan penyumbat atau (seal)nya adalah batulempung wonocolo yang berumur miosen akhir.

Pada zona rembang bagian utara terdapat 2 gunung api pleistosen, yaitu Gunung Muria dan Lasem. Gunung api yang telah padam ini mempunyai komposisi batuan yang lain apabila dibandingkan dengan gunung api yang lain. Komposisinya bukan andesit tetapi berupa batuan beku yang kaya akan leucite (feldspatoid), mirip dengan batuan yang tergolong pada kelompok gunung api mediteranian suite, seperti yang dijumpai di Atlantika.

Zona Rembang terbentang sejajar dengan zona Kendeng dan dipisahkan oleh depresi Randublatung, suatu dataran tinggi terdiri dari antiklinorium yang berarah barat-timur sebagai hasil gejala tektonik Tersier Akhir membentuk perbukitan dengan elevasi yang tidak begitu tinggi, rata-rata kurang dari 500 m. Beberapa antiklin tersebut merupakan pegunungan antiklin yang muda dan belum mengalami erosi lanjut dan nampak sebagai punggungan bukit. Zona Rembang merupakan zona patahan antara paparan karbonat di utara (Laut Jawa) dengan cekungan yang lebih dalam di selatan (cekungan Kendeng). Litologi penyusunnya campuran antara karbonat laut dangkal dengan klastika, serta lempung dan napal laut dalam.

Stratigrafi Zona Rembang tersusun atas Formasi Ngimbang, F. Kujung, F. Prupuh, F. Tuban, F. Tawun, F. Ngrayong, F. Bulu, F. Wonocolo, F. Ledok, F. Mundu, F. Selorejo, dan F. Lidah.

Formasi Kujung

Tersusun oleh serpih dengan sisipan lempung dan secara setempat berupa batugamping baik klastik maupun terumbu. Diendapkan pada lingkungan laut dalam sampai dangkal pada kala Oligosen Akhir sampai Miosen Awal.

Formasi Tuban

Tersusun oleh lapisan batulempung dengan sisipan batugamping. Semakin ke selatan berubah menjadi fasies serpih dan batulempung (Soejono, 1981, dalam Panduan Fieldtrip GMB 2006). Diendapkan pada lingkungan neritik sedang-neritik dalam.

Formasi Tawun

Tersusun oleh serpih lanauan dengan sisipan batugamping. Pada bagian atas formasi ini didominasi oleh batupasir yang terkadang lempungan dan secara setempat terdapat batugamping. Satuan di bagian atas ini sering disebut sebagai Anggota Ngrayong. Diendapkan pada laut terbuka agak dalam sampai laut dangkal di bagian atas pada Miosen Tengah (N9-N13) (Rahardjo & Wiyono, 1993, dalam Panduan Fieldtrip GMB 2006).

Formasi Tawun dimasa lalu disebut sebagai Lower Orbitoiden-Kalk (Lower OK) dan dimasukkan dalam apa yang disebut Rembang beds (Van Bemmelen, 1949). Selanjutnya Koesoemadinata (1978) menamakannya sebagai Anggota Tawun dari Formasi Tuban. Pada tahun 1983, Harsono menaikkan status anggota ini menjadi Formasi (tabel III.1). Menurut Harsono Formasi Tawun ini tersusun oleh perselingan antara gypsiferous carbonaceous shale dengan struktur gelembur arus, serta batugamping yang kaya akan foraminifera besar golongan Orbitoidae seperi Lepidocyclina. Singkapan yang dijumpai merupakan bagian teratas dari Formasi ini, tersusun oleh batulempung abu-abu kehijauan dengan sisipan batugamping dan batupasir. Didaerah sekitar desa Ngampel terdapat singkapan dari Formasi ini setebal 30 m. Perlapisannya mengandung fosil foraminifera plangtonik yang menunjukkan umur N 8 (Akhir Miosen Awal) berupa kumpulan spesies : Globigerinoides diminutus, Pareorbulina transtoria dan Globigerinoides sicanus. Sedangkan kandungan foraminifera bentoniknya menunjukkan bahwa Formasi ini diendapkan pada kondisi laut sangat dangkal pada kondisi penguapan yang sangat tinggi. Ke arah atas litologi ini ditumpuki oleh batupasir merah hingga merah jambu, dengan gejala struktur silang siur yang menjadi ciri dari batupasir Ngrayong.

Formasi Ngrayong

Anggota ini juga disebut “Upper Orbitoiden-Kalak” oleh Trooster (1937), Van Bemmelen (1949) menamakan Upper Rembang beds. Nama batupasir anggota Ngrayong telah diperkenalkan Brouwer (1957), yang mengajukan tipe local pada desa Ngrayong, Jatirogo, dimana susunan utamanya batupasir dengan intercalation batubara dan sandy clay.

Harsono (1983), mendeskripsi Ngrayong sebagai anggota formasi Tawun, terdiri dari orbitoid limestone dan shale dalam bagian bawah dan batupasir dengan intercalation batugamping dan lignit di bagian atas. Umur dari unit ini Miosen Tengah, pada area N9-N12. Lingkungan pengendapan dari anggota ini fluvial atau submarine dalam singkapan di sebelah utara (Jatirogo, Tawun) dan menjadi lingkungan laut pada bagian selatan. Di dekat Ngampel sekuen pasir endapan laut yang mendangkal ke atas dari shore face ke pantai akan terlihat anggota ini mungkin berhubungan dengan haitus di atas area mulut laut jawa. Anggota ini merupakan reservoar utama dari lapangan minyak Cepu, tetapi terlihat adanya shale yang hadir di bagian selatan dan timur dari lapangan ini. Ketebalan dari unit ini bervarian (lebih dari 300 m).

Formasi Bulu

Semula formasi ini disebut sebagai Platen–Complex oleh Trooster (1937). Tersusun oleh batugamping pasiran yang keras, berlapis baik, berwarna putih abu-abu, dengan sisipan napal pasiran. Pada batugampingnya dijumpai banyak foraminifera yang berukuran sangat besar dari spesies Cycloclypeus (Katacycloclypeus) annulatus berasosiasi dengan fragmen koral dan alga serta foramnifera kecil. Harsono (1983) menggunakan nama Formasi Bulu sebagai nama Resmi, dengan memasang lokasi tipe di Sungai Besek, dekat desa Bulu, Kabupaten Rembang. Posisi stratigrafi, umur dan litologinya dapat dilihat pada tabel III.1.

Pada peta geologi lembar Rembang (1 : 100.000), formasi ini melampar luas terutama di wilayah antiklonorium Rembang Utara. Satuan ini menebal ke arah barat, mencapai ketebalan hingga 360 m di sungai Larangan. Dibagian timur di sungai Besek dekat desa Bulu ketebalannya hanya 80 meter. Kondisi litologi dan kandungan fosilnya menunjukkan bahwa Formasi ini diendapkan pada laut dangkal, terbuka pada Kala Miosen Tengah – Awal Miosen Akhir (N 13 – N 15).

Formasi Wonocolo

Tersusun dari napal kuning-coklat, mengandung glaukonit, terdapat sisipan kalkarenit dan batulempung. Menurut Purwati (1987, dalam Panduan Fieldtrip GMB 2006) lingkungan pengendapan formasi ini adalah neritik dalam hingga bathyal tengah pada Miosen Tengah-Miosen Atas (N14-N16).

Formasi Wonocolo semula disebut sebagai anggota bawah dari Formasi Globigerina oleh Trooster (1937). Formasi ini menumpang secara selaras di atas formasi bulu dan ditumpangi oleh Formasi Ledok. Pada umumnya tersusun oleh napal dan napal lempungan yang tidak berlapis, kaya akan kandungan foraminifera plangtonik. Pada bagian bawahnya dijumpai sisipan batugamping pasiran dan batupasir gampingan dengan ketebalan bervariasi antara 5–20 cm. Urutan ini menunjukkan bahwa selama pengendapannya terjadi kondisi transgresif. Marks (1957) dan Harsono (1983) menyimpulkan bahwa umur dari formasi ini adalah Miosen Tengah – Miosen Akhir kisaran umur N 14 – N 16. (lihat tabel III.1).

Singkapan dari Formasi Wonocolo dijumpai mulai dari daerah Sukolilo, barat daya Pati. Ketebalan dari Formasi ini sangat bervariasi. Ke arah utara formasi ini berubah fasies menjadi batugamping dari Formasi Paciran. Melimpahnya fauna plangtonik pada batuan penyusun formasi ini menunjukkan bahwa pengendapannya berlangsung pada laut yang relatif dalam, wilayah ambang luar hingga batial atas.

Formasi Ledok

Secara selaras di atas Formasi Wonocolo terdapat Formasi Ledok. Trooster (1937) menganggap satuan ini sebagai anggota dari Formasi Globigerina, namun para peneliti sesudahnya menganggap berstatus formasi (Marks, 1957; Harsono, 1983). Formasi Ledok secara umum tersusun oleh batupasir glaukonitan dengan sisipan kalkarenit yang berlapis bagus serta batulempung yang berumur Miosen Akhir (N 16–N 17). Posisi stratigrafi, umur dan litologinya dapat dilihat pada tabel III.1.

Ketebalan dari Formasi Ledok ini sangat bervariasi. Pada lokasi tipenya, yaitu daerah antiklin Ledok, ketebalannya mencapai 230 m. Di daerah sungai Panowan mencapai 160 m, sedangkan di sungai Cegrok tinggal 50 m. Batupasirnya kaya akan kandungan glaukonit dengan kenampakan struktur silang siur. Di beberapa tempat batupasir tersebut terutama tersusun oleh hanya oleh test foraminifera plangtonik dengan sedikit mineral kuarsa. Secara keseluruhan bagian bawah dari formasi ini cenderung tersusun oleh batuan yang berbutir lebih halus dari bagian atas, menunjukkan kecendrungan kondisi pengendapan laut yang semakin mendangkal (shallowing-upward sequence). Ke arah utara, seperti halnya Formasi Wonocolo, Formasi Ledok ini juga mengalami perubahan fasies menjadi batugamping dari formasi Paciran.

Formasi Mundu

Satuan stratigrafi ini semula disebut sebagai Mundu stage oleh Trosster (1937). Selanjutnya oleh Van Bemmelen (1949) disebut sebagai Globigerina Marls. Oleh Marks (1957) satuan ini diresmikan sebagai Formasi. Formasi ini tersusun oleh napal masif berwarna putih abu-abu, kaya akan fosil foraminifera plangtonik. Secara stratigrafis Formasi Mundu terletak tidak selaras di atas formasi ledok, penyebarannya luas, dengan ketebalan 200 m–300 m di daerah antiklin Cepu area, ke arah selatan menebal menjadi sekitar 700 m. Formasi ini terbentuk antara Miosen Akhir hingga Pliosen (N 17–N 21), pada lingkungan laut dalam (bathyial).

Formasi Selorejo

Unit ini pembentukannya disebut Selorejo Beds oleh Trooster, 1937, yang telah diklasifikasikan sebagai anggota dair Formasi Lidah oleh Udin Adinegoro (1972) dan Koesoemadinata (1978). Sejak Harsono (1983) tidak melakukan pengamatan ketidakselarasan antara Formasi Lidah dan Mundu. Dia memasukkan anggota Selorejo dalam Formasi Mundu. Tipe lokalnya dari Desa Selorejo dekat Cepu dan terdiri lebih keras dan lebih lunak antar lapisan, menyisakan kebanyakan glaukonit. Dari foraminifera dianggap lingkungan laut dalam.

Satuan batuan ini semula oleh Trooster (1937) disebut sebagai Selorejo beds. Selanjutnya Udin Adinegoro (1972) dan Koesoemadinata (1978) menyebutnya sebagai anggota dari Formasi Lidah. Harsono (1983) menyimpulkan bahwa Selorejo ini merupakan anggota dari Formasi Mundu. Lokasi tipenya terletak di desa Selorejo dekat kota Cepu. Anggota Selorejo ini tersusun oleh perselingan antara batugamping keras dan lunak, kaya akan foraminifera palngtonik serta mineral glaukonit.

Penyebaran dari Anggota Selorejo ini tidak terlalu luas, terutama meliputi daerah sekitar Blora, sebelah utara Cepu (desa Gadu) dan di selatan Pati. Ketebalannya berkisar antara 0 hingga 100 meter. Berdasarkan kandungan foraminifera palngtonik, umur dari Anggota Selorejo adalah Pliosen ( N 21).

Formasi Lidah

Formasi ini terdiri atas batulempung kebiruan, napal berlapis dengan sisipan batupasir dengan lensa-lensa coquina. Dahulu Trooster (1937) menyebutnya sebagai Mergetton, yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu Tambakromo dan Turi–Domas. Harsono (1983) kemudian meresmikan satuan ini menjadi berstatus formasi, yaitu Formasi Lidah (tabel III.1).

Bagian terbawah dari formasi ini diduga merupakan endapan neritik tengah hingga neritik luar, yang tercirikan oleh banyaknya fauna plangtonik tetapi masih mengandung foraminifera bentonik yang mencirikan air relatif dangkal seperti pseudorotalia sp. dan Asterorotalia sp. Ke arah atas, terjadi urutan yang mendangkal ke atas (shallowing upward sequence), yang dicirikan oleh lapisan-lapisan yang kaya akan moluska.

I.1.7 Formasi Paciran

Satuan ini semula oleh Van Bemmelen (1949) disebut sebagai Karren Limestone. Secara umum penyusunnya terdiri atas batugamping pejal, dengan permukaan singkapan-singkapannya mengalami erosi membentuk apa yang disebut sebagai karren surface. Harsono (1983) secara resmi menggunakan nama Paciran dan menempatkannya pada status formasi, dengan lokasi tipenya berada di daerah bukit piramid di sekitar Paciran, kabupaten Tuban. Formasi ini dijumpai hanya dibagian utara dari Zona Rembang. Posisi stratigrafi, umur dan litologinya dapat dilihat pada tabel III.1. Umur dari Formasi ini masih memicu terjadinya perbedaan. Harsono (1983) menempatkannya pada Kala Pliosen–Awal Pleistosen, yang secara lateral setara dengan Formasi Mundu dan Lidah. Namun di beberapa tempat terdapat bukti umur yang menunjukkan bahwa Formasi Paciran telah berkembang pada saat pembentukan Formasi Ledok dan Wonocolo.

BAB II STRUKTUR GEOLOGI

Pulau jawa mempunyai dua macam konfigurasi struktur (structural grains) yang berbeda. Di bagian utara tercirikan oleh kecendrungan mengikuti arah timur-barat. Pola timurlaut–baratdaya diduga mengikuti konfigurasi basement. Basement-nya sendiri diduga merupakan bagian dari kerak benua yang berumur Pre Tersier, tersusun oleh mélange, ofiolit dan bagian dari jenis kerak benua lain. Pola struktur yang berarah timur–barat ini sesuai dengan busur volkanik Tersier yang juga berarah timur–barat (Hamilton, 1978). Cekungan Jawa Timur, dimana Kendeng dan Rembang terletak, kemungkinan terletak pada kerak perantara (intermediate crust) dari kelompok mélange yang berangsur berubah menjadi kerak samudra, yang mungkin terdapat pada penghujung timur dari cekungan ini.

Pada bagian barat cekungan Jawa Timur nampak adanya kecendrungan arah morfologi dan struktur timur–barat (gambar IV.1). Hal ini dapat dibandingkan dengan cekungan selatan (Southern Basin). Daratan tersebut mencakup zona Rembang dan Zona Kendeng serta kelanjutannya, yang dibagian utara dibatasi oleh tinggian Kujung-Kangean–Madura–Sepanjang yang terbentuk sebagai akibat sesar geser (wrench related). Ke arah selatan zona ini dibatasi oleh jalur gunung api kuarter. Cekungan ini kemungkinan terbentuk sejak Eosen hingga akhir Oligosen oleh suatu tektonik ekstensional, yang kemudian diikuti oleh fase tektonik inverse sejak awal Miosen hingga Holosen. Pada fase inversi ini dibagian utara dari cekungan ini mengalami pengangkatan (zona Rembang) sedangkan pada bagian selatannya masih berupa cekungan laut dalam (zona Kendeng).

Dalam kerangka tektonik regional maka proses pembentukan struktur Tersier di Pulau Jawa dapat dibagi menjadi 3 periode :

1. Paleogen Extension Rifting
2. Neogen Compressional Wrenching
3. Plio – Pleistocene Compressing Thrust – Folding

Fase ekstensional Paleogene menghasilkan graben / half graben dan sesar-sesar yang mempunyai arah pemanjangan timur–barat. Selanjutnya pada fase kompresi pada Awal Miosen terjadi reaktivasi dari sesar ekstensional yang sebelumnya telah ada, yang menunjukkan adanya kontrol tektonik terhadap pembentukan awal cekungan.

Periode Neogen Compressional Wrenching ditandai oleh pembentukan sesar-sesar geser, yang terutama terjadi akibat gaya kompresif dari tumbukan lempeng Hindia. Sesar geser yang terjadi membentuk orientasi tertentu, yang berhubungan dengan kompresi utama. Sebagian besar pergeseran sesar merupakan reaktivasi dari sesar-sesar normal yang terbentuk pada periode Paleogen.

Periode Plio – Pleistocene Compressional Thrust – Folding ditandai oleh pembentukan lipatan yang berlanjut pada pembentukan sesar-sesar naik. Antiklinorium dan thrust belt yang terjadi memiliki orientasi tertentu yang berhubungan dengan arah kompresi dan kinematika pembentukannya. Pada zaman Neogen cekungan Jawa Timur bagian utara mengalami rezim kompresi yang menyebabkan reaktivasi sesar-sesar normal tersebut dan menghasilkan sesar-sesar naik.

Pada jaman Pre-Tersier lempeng Jawa Timur mengalami penunjaman dibawah lempeng Sunda, mengkuti arah memanjang zona penunjaman kurang lebih N 600 E, penunjaman ini berakibat pemendekan lempeng pada arah tegaklurus arah penunjaman. Pada saat itu cekungan Jawa Timur barangkali masih berupa cekungan muka busur (fore arc basin). Pada Awal Miosen atau lebih tua, tektonik ekstensi bekerja di zona Rembang. Ekstensi ini kemudian diikuti oleh serangkaian tegasan kompresif yang menjadi aktif sejak Akhir Miosen hingga Holosen dengan arah yang bergeser dari arah timur laut. Kompresi ini juga bekerja pada zona Kendeng sejak Akhir Miosen dan seterusnya. Namun rekaman stratigrafis dari peristiwa ini hanya dapat diamati pada bagian bawah dari Formasi Kerek. Kompresi ini juga menjadi semakin lemah selama pembentukan sedimen yang lebih muda.

BAB III. MORFOTEKTONIK

Evolusi Morfotektonik zona rembang berdasarkan data stratigrafi dan struktur geologinya dapat dibagi menjadi 4 fase:

1. Fase Tektonik pertama yang terjadi selama tersier sampai awal Oligocene yang mengendapkan formasi Ngimbang dan Kujung yang diendapkan diatas basement yang berupa mélange dan ofiolit. Formasi Ngimbang yang tersusun oleh batupasir dan batulanau yang terdapat sisipan batugamping mengindikasikan bahwa pengendapannya merupakan syn-rift – post rift sehingga terbentuk cekungan laut dangkal. Cekungan ini mulai stabil pada saat terendapkannya formasi Kujung yang berupa batugamping. Pada fase ini gaya yang bekerja dominannya adalah gaya ekstensional. Cekungan ini berupa fore arc basin
2. Fase yang kedua terjadi pada oligocen tengah sampai miosen akhir. Pada waktu ini penunjaman lempeng hidia ke pulau Jawa yang oblique. Penunjaman yang oblique ini membentuk struktur lipatan dan sesar yang berarah timur laut – barat daya (pola meratus). Pada fase ini rembang masih berupa fore arc basin dan telah memasuki fase sagging – inverse. Pada waktu inilah terendapkan formasi Prupuh, Tawun, Ngrayong, Bulu, Wonocolo, dan Ledok. Kedudukan muka air laut pada kala ini relative regresi sehingga menyebabkan pola progadasional yang menyebabkan perebahan facies secara lateral kearah darat ke arah utara. Hal ini dibuktikan dengan adanya perubahan facies dari batugamping (formasi Prupuh) ke batupasir, batulempung yang kaya mineral Glaukonit (formasi Ngrayong dan ledok). Batupasir ini kemungkinan diendapkan di lingkungan delta.
3. Fase yang ketiga terjadi pada Miosen akhir sampai pleistocen awal. Pada fase ini terjadi transgresi air laut yang menyebabkan kenaikan muka air laut secara relative yang mengendapkan formasi Mundu, Paciran, Selorejo, dan Lidah. Pada fase ini rembang masih berupa fore arc basin. Memasuki pengendapan formasi Pacerain dan selorejo terjadi regresi muka air laut sehingga terjadi perubahan lingkungan pengendapan lagi dari laut dalam (bathial) ke laut dangkal (neritik tengah).
4. Fase yang keempat terjadi pada Pleistocene akhir – Holosen. Pada fase ini penunjaman lempeng Hindia sudah tegak lurus dengan pulau jawa sehingga terbentuklah lipatan, sesar, dan struktur-struktur geologinya lainnya yang berarah timur-barat. Penunjaman ini juga menyebabkan terjadinya partial melting, sehingga terjadi vulkanisme di sebelah selatan zona rembang. Sehingga zona rembang berubah menjadi back arc basin. Vulkanis me ini juga menyebabkan terendapkan batuan batuan gunung api seperti tuff, breksi andesit, aglomerat. Dan juga terjadi intrusi-intrusi andesit. Peristiwa ini menyebabkan zona rembang menjadi daerah yang prospek dalam eksplorasi hidrokarbon. Dimana formasi Ngimbang merupakan source rock yang poetensial. Pematangan source rock ini disebabkan karena naiknya astenosfer yang diakibatkan penunjaman ini. Daerah back arc basin lebih potensial terjadi pematangan source rock daripada fore arc basin. Sedangkan batuan penutup dan reservoir banyak ditemui di formasi Tawun dan Tuban dimana banyak mengandung batulanau-batulempung sedangkan reservoarnya bayak ditemui pada formasi Ngrayong, dan Ledok yang mengendapkan batupasir. Reservoir lainnya yang berupa batugamping juga ditemukan.

Geologi Zona Rembang

on Minggu, 26 September 2010

Geomorfologi

Zona ini meliputi pantai utara Jawa yang membentang dari Tuban ke arah timur melalui Lamongan, Gresik, dan hampir keseluruhan Pulau Madura. Merupakan daerah dataran yang berundulasi dengan jajaran perbukitan yang berarah barat-timur dan berselingan dengan dataran aluvial. Lebar rata-rata zona ini adalah 50 km dengan puncak tertinggi 515 m (Gading) dan 491 (Tungangan). Litologi karbonat mendominasi zona ini. Aksesibilitas cukup mudah dan karakter tanah keras.


Jalur Rembang terdiri dari pegunungan lipatan berbentuk Antiklinorium yang memanjang ke arah Barat – Timur, dari Kota Purwodadi melalui Blora, Jatirogo, Tuban sampai Pulau Madura. Morfologi di daerah tersebut dapat dibagi menjadi 3 satuan, yaitu Satuan Morfologi dataran rendah, perbukitan bergelombang dan Satuan Morfologi perbukitan terjal, dengan punggung perbukitan tersebut umumnya memanjang berarah Barat – Timur, sehingga pola aliran sungai umumnya hampir sejajar (sub-parallel) dan sebagian berpola mencabang (dendritic). Sungai utama yang melewati daerah penyelidikan yaitu S. Lusi, yang mengalir ke arah Baratdaya, melalui Kota Blora dan bermuara di Bengawan Solo.


Stratigrafi

Menurut Sutarso dan Suyitno (1976), secara fisiografi daerah penelitian termasuk dalam Zona Rembang yang merupakan bagian dari cekungan sedimentasi Jawa Timur bagian Utara (East Java Geosyncline). Cekungan ini terbentuk pada Oligosen Akhir yang berarah Timur – Barat hampir sejajar dengan Pulau Jawa (Van Bemmelen, 1949).


Menurut Koesoemadinata (1978), cekungan Jawa Timur bagian Utara lebih merupakan geosinklin dengan ketebalan sedimen Tersier mungkin melebihi 6000 meter. Suatu hal yang khas dari cekungan Jawa Timur bagian Utara berarah Timur-Barat dan terlihat merupakan gejala tektonik Tersier Muda.


Tiga tahap orogenesa telah dikenal berpengaruh terhadap pengendapan seri batuan Kenozoikum di Indonesia (Van Bemmelen, 1949). Yang pertama terjadi di antara interval Kapur Akhir – Eosen Tengah, kedua pada Eosen Tengah (Intramiocene Orogeny) dan ketiga terjadi pada Plio-Pleistosen. Orogenesa yang terjadi pada Miosen Tengah ditandai oleh peristiwa yang penting di dalam distribusi sedimen dan penyebaran flora dan fauna, terutama di daerah Indonesia bagian Barat dan juga menyebabkan terjadinya fase regresi (susut laut) yang terjadi dalam waktu singkat di Jawa dan daerah Laut Jawa. Fase orogenesa Miosen Tengah ditandai juga oleh hiatus di daerah Cepu dan dicirikan oleh perubahan fasies yaitu dari fasies transgresi menjadi fasies regresi di seluruh Zona Rembang. Selain hal tersebut diatas, fase orogenesa ini ditandai oleh munculnya beberapa batuan dasar Pra – Tersier di daerah pulau Jawa Utara (Van Bemmelen, 1949).


Perbedaan yang mencolok perihal sifat litologi dari endapan – endapan yang berada pada Mandala Kendeng, Mandala Rembang, dan Paparan laut Jawa yaitu sedimen. Mandala Kendeng pada umumnya terisi oleh endapan arus turbidit yang selalu mengandung batuan piroklastik dengan selingan napal dan batuan karbonat serta merupakan endapan laut dalam. Umumnya sedimen-sedimen tersebut terlipat kuat dan tersesar sungkup ke arah Utara, sedangkan Mandala Rembang memperlihatkan batuan dengan kadar pasir yang tinggi disamping meningkatnya kadar karbonat serta menghilangnya endapan piroklastik. Sedimen-sedimen Mandala Rembang memberi kesan berupa endapan laut dangkal yang tidak jauh dari pantai dengan kedalaman dasar laut yang tidak seragam. Hal ini disebabkan oleh adanya sesar-sesar bongkah (Block faulting) yang mengakibatkan perubahan-perubahan fasies serta membentuk daerah tinggian atau rendahan. Daerah lepas pantai laut Jawa pada umumnya ditempati oleh endapan paparan yang hampir seluruhnya terdiri dari endapan karbonat.


Mandala Rembang menurut sistem Tektonik dapat digolongkan ke dalam cekungan belakang busur (retro arc back arc) (Dickinson, 1974) yang terisi oleh sedimen-sedimen berumur Kenozoikum yang tebal dan menerus mulai dari Eosen hingga Pleistosen. Endapan berumur Eosen dapat diketahui dari data sumur bor (Pringgoprawiro, 1983).


Litostratigrafi Tersier di Cekungan Jawa Timur bagian Utara banyak diteliti oleh para pakar geologi diantaranya adalah Trooster (1937), Van Bemmelen (1949), Marks (1957), Koesoemadinata (1969), Kenyon (1977), dan Musliki (1989) serta telah banyak mengalami perkembangan dalam susunan stratigrafinya. Kerancuan tatanama satuan Litostratigrafi telah dibahas secara rinci oleh Pringgoprawiro (1983) dimana susunan endapan sedimen di Cekungan Jawa Timur bagian Utara dimasukkan kedalam stratigrafi Mandala Rembang dengan urutan dari tua ke muda yaitu Formasi Ngimbang, Formasi Kujung, Formasi Prupuh, Formasi Tuban, Formasi Tawun, Formasi Bulu, Formasi Ledok, Formasi Mundu, Formasi Lidah dan endapan yang termuda disebut sebagai endapan Undak Solo. Anggota Ngrayong Formasi Tawun dari Pringgoprawiro (1983) statusnya ditingkatkan menjadi Formasi Ngrayong oleh Pringgoprawiro, 1983. Anggota Selorejo Formasi Mundu (Pringgoprawiro, 1983) statusnya ditingkatkan menjadi Formasi Selorejo oleh Pringgoprawiro (1985) serta Djuhaeni dan Martodjojo (1990). Sedangkan Formasi Lidah mempunyai tiga anggota yaitu Anggota Tambakromo, Anggota Malo (sepadan dengan Anggota Dander dari Pringgoprawiro, 1983) dan Anggota Turi (Djuhaeni, 1995).


Rincian stratigrafi Cekungan Jawa Timur bagian Utara dari Zona Rembang yang disusun oleh Harsono Pringgoprawiro (1983) terbagi menjadi 15 (lima belas) satuan yaitu Batuan Pra – Tersier, Formasi Ngimbang, Formasi Kujung, Formasi Prupuh, Formasi Tuban, Formasi Tawun, Formasi Ngrayong, Formasi Bulu, Formasi Wonocolo, Formasi Ledok, Formasi Mundu, Formasi Selorejo, Formasi Paciran, Formasi Lidah dan Undak Solo. Pembahasan masing – masing satuan dari tua ke muda adalah sebagai berikut :


1. Formasi Tawun

Formasi Tawun mempunyai kedudukan selaras di atas Formasi Tuban, dengan batas Formasi Tawun yang dicirikan oleh batuan lunak (batulempung dan napal). Bagian bawah dari Formasi Tawun, terdiri dari batulempung, batugamping pasiran, batupasir dan lignit, sedangkan pada bagian atasnya (Anggota Ngrayong) terdiri dari batupasir yang kaya akan moluska, lignit dan makin ke atas dijumpai pasir kuarsa yang mengandung mika dan oksida besi. Penamaan Formasi Tawun diambil dari desa Tawun, yang dipakai pertama kali oleh Brouwer (1957). Formasi Tawun memiliki penyebaran luas di Mandala Rembang Barat, dari lokasi tipe hingga ke Timur sampai Tuban dan Rengel, sedangkan ke Barat satuan batuan masih dapat ditemukan di Selatan Pati. Lingkungan pengendapan Formasi Tawun adalah paparan dangkal yang terlindung, tidak terlalu jauh dari pantai dengan kedalaman 0 – 50 meter di daerah tropis. Formasi Tawun merupakan reservoir minyak utama pada Zona Rembang. Berdasarkan kandungan fosil yang ada, Formasi Tawun diperkirakan berumur Miosen Awal bagian Atas sampai Miosen Tengah.

2. Formasi Ngrayong

Formasi Ngrayong mempunyai kedudukan selaras di atas Formasi Tawun. Formasi Ngrayong disusun oleh batupasir kwarsa dengan perselingan batulempung, lanau, lignit, dan batugamping bioklastik. Pada batupasir kwarsanya kadang-kadang mengandung cangkang moluska laut. Lingkungan pengendapan Formasi Ngrayong di daerah dangkal dekat pantai yang makin ke atas lingkungannya menjadi littoral, lagoon, hingga sublittoral pinggir. Tebal dari Formasi Tawun mencapai 90 meter. Karena terdiri dari pasir kwarsa maka Formasi Tawun merupakan batuan reservoir minyak yang berpotensi pada cekungan Jawa Timur bagian Utara. Berdasarkan kandungan fosil yang ada, Formasi Ngrayong diperkirakan berumur Miosen Tengah.

3. Formasi Bulu

Formasi Bulu secara selaras berada di atas Formasi Ngrayong. Formasi Bulu semula dikenal dengan nama ‘Platen Complex’ dengan posisi stratigrafi terletak selaras di atas Formasi Tawun dan Formasi Ngrayong. Ciri litologi dari Formasi Bulu terdiri dari perselingan antara batugamping dengan kalkarenit, kadang – kadang dijumpai adanya sisipan batulempung. Pada batugamping pasiran berlapis tipis kadang-kadang memperlihatkan struktur silang siur skala besar dan memperlihatkan adanya sisipan napal. Pada batugamping pasiran memperlihatkan kandungan mineral kwarsa mencapai 30 %, foraminifera besar, ganggang, bryozoa dan echinoid. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal antara 50 – 100 meter. Tebal dari formasi ini mencapai 248 meter. Formasi Bulu diperkirakan berumur Miosen Tengah bagian atas.

4. Formasi Wonocolo

Lokasi tipe Formasi Wonocolo tidak dinyatakan oleh Trooster, 1937, kemungkinan berasal dari desa Wonocolo, 20 km Timur Laut Cepu. Formasi Wonocolo terletak selaras di atas Formasi Bulu, terdiri dari napal pasiran dengan sisipan kalkarenit dan kadang-kadang batulempung. Pada napal pasiran sering memperlihatkan struktur parallel laminasi. Formasi Wonocolo diendapkan pada kondisi laut terbuka dengan kedalaman antara 100 – 500 meter. Tebal dari formasi ini antara 89 meter sampai 339 meter. Formasi Wonocolo diperkirakan berumur Miosen Akhir bagian bawah sampai Miosen Akhir bagian tengah.

Struktur Geologi

Pada masa sekarang (Neogen – Resen), pola tektonik yang berkembang di Pulau Jawa dan sekitarnya, khususnya Cekungan Jawa Timur bagian Utara merupakan zona penunjaman (convergent zone), antara lempeng Eurasia dengan lempeng Hindia – Australia (Hamilton, 1979, Katili dan Reinemund, 1984, Pulonggono, 1994).

Evolusi tektonik di Jawa Timur bisa diikuti mulai dari Jaman Akhir Kapur (85 – 65 juta tahun yang lalu) sampai sekarang (Pulonggono, 1990). Secara ringkasnya, pada cekungan Jawa Timur mengalami dua periode waktu yang menyebabkan arah relatif jalur magmatik atau pola tektoniknya berubah, yaitu pada jaman Paleogen (Eosen – Oligosen), yang berorientasi Timur Laut – Barat Daya (searah dengan pola Meratus). Pola ini menyebabkan Cekungan Jawa Timur bagian Utara, yang merupakan cekungan belakang busur, mengalami rejim tektonik regangan yang diindikasikan oleh litologi batuan dasar berumur Pra – Tersier menunjukkan pola akresi berarah Timur Laut – Barat Daya, yang ditunjukkan oleh orientasi sesar – sesar di batuan dasar, horst atau sesar – sesar anjak dan graben atau sesar tangga. Dan pada jaman Neogen (Miosen – Pliosen) berubah menjadi relatif Timur – Barat (searah dengan memanjangnya Pulau Jawa), yang merupakan rejim tektonik kompresi, sehingga menghasilkan struktur geologi lipatan, sesar – sesar anjak dan menyebabkan cekungan Jawa Timur Utara terangkat (Orogonesa Plio – Pleistosen) (Pulonggono, 1994). Khusus di Cekungan Jawa Timur bagian Utara, data yang mendukung kedua pola tektonik bisa dilihat dari data seismik dan dari data struktur yang tersingkap.

Menurut Van Bemmelen (1949), Cekungan Jawa Timur bagian Utara (North East Java Basin) yaitu Zona Kendeng, Zona Rembang – Madura, Zona Paparan Laut Jawa (Stable Platform) dan Zona Depresi Randublatung.

Keadaan struktur perlipatan pada Cekungan Jawa Timur bagian Utara pada umumnya berarah Barat – Timur, sedangkan struktur patahannya umumnya berarah Timur Laut – Barat Daya dan ada beberapa sesar naik berarah Timur – Barat.

Zona pegunungan Rembang – Madura (Northern Java Hinge Belt) dapat dibedakan menjadi 2 bagian yaitu bagian Utara (Northern Rembang Anticlinorium) dan bagian Selatan (Middle Rembang Anticlinorium).

Bagian Utara pernah mengalami pengangkatan yang lebih kuat dibandingkan dengan di bagian selatan sehingga terjadi erosi sampai Formasi Tawun, bahkan kadang – kadang sampai Kujung Bawah. Di bagian selatan dari daerah ini terletak antara lain struktur – struktur Banyubang, Mojokerep dan Ngrayong.

Bagian Selatan (Middle Rembang Anticlinorium) ditandai oleh dua jalur positif yang jelas berdekatan dengan Cepu. Di jalur positif sebelah Utara terdapat lapangan – lapangan minyak yang penting di Jawa Timur, yaitu lapangan : Kawengan, Ledok, Nglobo Semanggi, dan termasuk juga antiklin – antiklin Ngronggah, Banyuasin, Metes, Kedewaan dan Tambakromo. Di dalam jalur positif sebelah selatan terdapat antiklinal-antiklinal / struktur-struktur Gabus, Trembes, Kluweh, Kedinding – Mundu, Balun, Tobo, Ngasem – Dander, dan Ngimbang High.

Sepanjang jalur Zona Rembang membentuk struktur perlipatan yang dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu :

Bagian Timur, dimana arah umum poros antiklin membujur dari Barat Laut – Timur Tenggara.

Bagian Barat, yang masing – masing porosnya mempunyai arah Barat – timur dan secara umum antiklin-antiklin tersebut menunjam baik ke arah barat ataupun ke arah timur.

GELOMBANG

on Selasa, 16 Februari 2010

A. Definisi Gelombang
Bila kita amati gelombang air yang terbentuk, misalnya akibat batu dijatuhkan ke permukaan air, maka ada fenomena yang terlihat :
1). Ada asilasi atau getaran (tampak dari titik di permukaan aiar yang bergerak naik atau turun).
2). Adanya perambatan pada asilasi

Dua fenomena ini pasti diamati pada gelombang apa saja. Ketika kamu menggetarkan salah satu ujung tali, maka terlihat pula simpangan pada tali yang bergerak ke ujung tali yang lain. Namun bagian-bagian tali itu sendiri tidak bergerak bersama pola gelombang. Titik-titik pada medium perambatan gelombang hanya berisolasi di sekitar titik seimbangnya. Dari pengamatan tersebut kita dapat membuat definisi untuk gelombang.
Gelombang adalah asilasi yang berambat pada seuatu medium tanpa disertai perambatan bagian-bagian medium itu sendiri.

B. Jenis Gelombang
Jenis gelombang ada 2 yaitu :
- Jenis gelombang menurut zat antaranya.
- Jenis gelombang menurut arah getarannya
1. Gelombang menurut zat antaranya yaitu gelombang. Gelombang mekanik dan gelombang elektromagnetik.
a. Gelombang mekanik yaitu gelombang-gelombang yang dalam perambatannya atau perpindahannya membutuhkan medium pertama, contohnya gelombang tali, bunyi, air.
b. Gelombang elektromagnetik, yaitu gelombang-gelombang yang dalam perambatannya tidak membutuhkan medium. Gelombang elektromagnetik dikemukakan pertama kali oleh James Clerk Maxwell (1831-1879), seorang ahli fisika dari Skotlandia.

Gelombang listrik menghasilkan medan listrik dan medan magnet yang berubah-rubah secara periodeik. Antara medan listrik dan medan magnet mempunyai arah saling tegak lurus. Oleh karena itu gelombang elektromagnetik merupakan tranversal, kedua medan ini merambat denga cepat rambat sama dengan cepat rambat cahaya yaitu sekitar 3 x 108 m/s.
Rumus : Cepat rambat gelombang elektromagnetik

Keterangan nya :
C = cepat rambat gelombang elektromagnetik
a = panjang gelombang (meter)
T = Periode (sekon)
F = Frekwensi gelombang (hertz atau disingkat Hz)
Karena maka, c = a.f

Jenis-Jenis Gelombang Elektromagnetik
Jenis Gelombang Frekwensi Sumber
Ultraviolet 1015 – 1017 Hz Matahari dan logam
Bersuhu tinggi
x 1017 – 1019 Hz Tabung elektron
Inframerah 1012 – 1014 Hz Benda panas
Radar 1019 – 1012 Hz Induksi listrik
Gelombang elektromagnetik juga memiliki sifat-sifat nya :
1. Dapat merambat melalui ruang hampa udara
2. Dapat dipantulkan
3. Dapat dibiaskan

2. Menurut Arah Getarannya.
Menurut arah getarannya, gelombang dibedakan menjadi dua, yaitu gelombang transversal dan gelombang longitudinal
a. Gelombang Tranversal
Selain gelombang laut, kita juga sering mendengar istilah, gelombang bunyi dan gelombang pada tali.
Kita mengamati arah rambat gelombang Transversal pada tali
1). Ikatan tali disuatu tempat
2). Sentakan tali ke atas dan ke bawah masing-masing satu kali
3). Ulangi percobaan di atas dengan menyatakan tali dua kali, tiga kali, empat kali.
Gelombang yang merambat dengan arah tegak lurus terhadap arah getarannya disebut gelombang Tranversal misalnya gelombang pada permukaan air, gelombang pada tali, dan gelombang cahaya (gelombang elektromagnetik).

b. Gelombang Lungitudinal
Gelombang lungitudinal adalah gelombang yang merambat dengan araj rambat yang sama dengan arah getarannya.

c. Cepat rambat gelombang, panjang Gelombang, dan Frekuensi.
Panjang gelombang adalah jarak yang ditempuh oleh satu gelombang dalam satu periode. Panjang gelombang dalam a (lamda), satuannya meter.
Cepat rambat gelombang adalah jarak yang ditempuh oleh gelombang dalam waktu satu sekon, cepat rambat gelombang dinyatakan dalam V (velocity), satuannya m/s. Satu gelombang pada gelombang. Sedangkan pada gelombang lungitudinal, yang dimaksud dengan satu gelombang adalah satu rapatan dan satu renggangan berturut-turut.
Frekwensi gelombang adalah banyaknya gelombang yang terjadi dalam waktu satu sekon, diberi lambang (f) dengan satuan CPS (Cycle Per Secon) atau hertz.
Waktu yang diperlukan untuk melakukan satu gelombang disebut periode, dinyatakan dalam T dan satuannya sekon. Hubungan antara panjang rambat gelombang dinyatakan dalam rumus :

Oleh karena F = maka rumus tersebut dapat ditulis
Dengan :
a = panjang gelombang (m)
V = cepat rambat gelombang (m/s)
F = Frekwensi gelombang (Hz)
T = Periode gelombang (sekon).

GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK

Pengertian Gelombang Elektromagnetik
Gelombang Elektromagnetik merupakan :
a. Gelombang Transversal.
b. Gelombang yang dapat merambat dengan kecepatan 3.108 m/s.
c. Gelombang yang dapat merambat di ruang hampa tanpa medium.
d. Medan listrik yang berubah menjadi medan magnet.

Definisi Gelombang Elektromagnetik
Gelombang Elektromagnetik adalah faktor-faktor dari panjang gelombang, frekuensi dan cepat rambat gelombang elektomagnetik atau hubungan antara cepat rambat gelombang yang dapat merambat pada ruang hampa dengan perkalian panjang gelombang beserta frekuensinya.
Persamaan Gelombang Elektromagnetik
Persamaannya adalah
I. c =f
= c : f
III. f = c : 
Keterangan :
C = Kelajuan (3.108 m/s)
F = frekuensi (Hz)
= panjang gelombang (m)

Tokoh Ilmuwan
Merupakan sosok yang telah berjasa dalam mengembangkan bidang Elektromagnetik, antara lain :
a. Hans Christian Oersted
b. James Clark Maxwell
c. Michael Faraday
d. Charles Augustin Coulomb
e. Heirich Rudolph hertz

Kecepatan Perambatan Gelombang Elektromagnetik
Bergantung pada dua besaran, yaitu:
a. Permitivitas Listrik ()
b. Permeabilitas magnetik (Mo)

Sprektrum Gelombang Elektromagnetik
Yaitu :
a. Untuk frekuensi dari tinggi ke rendah
1. Sinar Gamma : 1020 Hz – 1024 Hz
2. Sinar X : 1016 Hz – 1020 Hz
3. Ultraviolet : 1015 Hz – 1018 Hz
4. Cahaya tampak : 4.1014 Hz – 7,5.1014 Hz
5. Infra red : 1011 Hz – 1014 Hz
6. Gelombang Mikro : 108 Hz – 1012 Hz
7. Gelombang Radio : 104 Hz – 108 Hz

a. Untuk panjang gelombang dari tinggi ke rendah
1. Gelombang Radio : 3m – 1.500m
2. Gelombang Mikro : 3.10-14
3. Infra red : (7.10-7)m – 10-6m
4. Ultraviolet : 10-8 – 10-7m
5. Sinar X : (10-9 – 10-6)cm
6. Sinar Gamma : 3.10-12

Sifat – sifat Gelombang Elektromagnetik
Secara umum semua jenis gelombang memiliki sifat-sifat, antara lain :
a. Merupakan gelombang transversal.
b. Merambat lurus
c. Arah rambat tidak dapat dibelokkan dalam medan listrik dam medan magnet
d. Dapat dipantulkan (releksi)
e. Dapat melentur (difraksi)
f. Pembiasan
g. Dapat Berinteferensi
h. Dapat dipolarisasikan

Teori Maxwell

Berdasarkan pada, antara lain :
a. Hukum Coulomb dan Gauss
b. Hukum Bio-Savart
c. Hukum Faraday

Kesimpulan dari Tokoh Ilmuwan
Beberapa Tokoh yang memberikan kesimpulan, antara lain :
a. Hans Christian Oersted menyimpulkan bahwa arus listrik (muatan yang bergerak) menghasilakn medan magnet.
b. James Clark Maxwell menyimpulkan bahwa perubahan medan listrik menghasilkan medan magnet.
c. Michael Faraday menyimpulkan bahwa medan magnet yang berubah menghasilkan medan listrik yang berubah – ubah pula.

Hukum - Hukum Gelombang Elektromagnetik
Hukum – hukum itu, antara lain :
1. Muatan listrik dapat menimbulkan medan magnet disekitarnya (Hukum Bio-Savart).
2. Arus listrik yang mengalir menghasilkan medan magnet (Hukum Coulomb).
3. Perubahan medan magnet dapat menghasilkan medan listrik (Hukum Faraday)

Gelombang Mikro
Gelombang Mikro memiliki sifat, antara lain :
a. Menimbulkan efek panas jika berinteraksi dengan materi.
b. Mudah dipantulakan oleh benda berukuran beberapa meter karena panjang gelombangnya hanya beberapa sentimater.
Gelombang Mikro dimanfaatkan untuk beberapa hal, yaitu :
a. Memasak makanan pada microwave oven.
b. Menghitung jarak, memandu pendaratan pesawat saat cuaca buruk, memandu peluru kendali pda radar. Radar yang diperkuat disebut lidar (mirip laser, tetapi berasal dari gelombang mikro).
c. Mengirim laporan pada jaringan closed circuit television.

on Selasa, 19 Mei 2009

Reklamasi dan Revegetasi Lahan Bekas Tambang Timah

Reklamasi sebagai usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan, agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan kemampuannya (Direktorat Jenderal Rehabilitasi Hutan dan Lahan Departemen Kehutanan, 1997). 

Ruang lingkup reklamasi lahan meliputi: 

(1) pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki lahan yang terganggu ekologinya, dan 
(2) mempersiapkan lahan bekas tambang yang sudah diperbaiki ekologinya untuk pemanfaatan selanjutnya. Sasaran akhir dari reklamasi tersebut adalah terciptanya lahan bekas tambang yang kondisinya aman, stabil dan tidak mudah tererosi sehingga dapat dimanfaatkan kembali sesuai dengan peruntukannya (Direktorat Jenderal Mineral Batubara Dan Panas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2006).

Menurut Sujitno (2007), arah dari upaya rehabilitasi lahan bekas tambang ditinjau dari aspek teknis adalah upaya untuk mengembalikan kondisi tanah agar stabil dan tidak rawan erosi. Dari aspek ekonomis dan estetika lahan, kondisi tanah diperbaiki agar nilai/potensi ekonomisnya dapat dikembalikan sekurang-kurangnya seperti keadaan semula. Dari aspek ekosistem, upaya pengembalian kondisi ekosistem ke ekosistem semula. Dalam hal ini revegetasi/reforestisasi adalah upaya yang dapat dinilai mencakup kepada kepentingan aspek-aspek tersebut. Reklamasi hampir selalu identik dengan revegetasi. 

Revegetasi adalah usaha atau kegiatan penanaman kembali lahan bekas tambang ((Direktorat Jenderal Rehabilitasi Hutan dan Lahan Departemen Kehutanan, 1997). Menurut Setiadi (2006), tujuan dari revegetasi akan mencakup re-establishment komunitas tumbuhan asli secara berkelanjutan untuk menahan erosi dan aliran permukaan, perbaikan biodiversitas dan pemulihan estetika lanskap. Pemulihan lanskap secara langsung menguntungkan bagi lingkungan melalui perbaikan habitat satwa liar, biodiversitas, produktivitas tanah dan kualitas air. 

Landasan hukum utama kegiatan reklamasi adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Pertambangan. Pada Pasal 30 dari Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa Apabila selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang Kuasa Penambangan (KP) diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan bahaya bagi masyarakat sekitarnya. Selanjutnya pada Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001, tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 32/1969 tentang Pelaksanaan UU No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan Pasal 46 ayat (4) disebutkan bahwa sebelum meninggalkan bekas wilayah KP-nya, baik karena pembatalan maupun karena hal yang lain, pemegang KP harus terlebih dahulu melakukan usaha-usaha pengamanan terhadap benda-benda maupun bangunan-bangunan dan keadaan tanah di sekitarnya yang dapat membahayakan keamanan umum. 

Pada Pasal 46 ayat (5) disebutkan bahwa Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dapat menetapkan pengaturan keamanan bangunan dan pengendalian keadaan tanah yang harus dipenuhi dan ditaati oleh pemegang KP sebelum meninggalkan bekas wilayah KP. 

Peraturan pelaksanaan reklamasi lahan diatur dalam Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1211.K/008/M.PE/1995 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perusakan dan Pencemaran Lingkungan pada Kegiatan Pertambangan Umum. Pada Pasal 12 ayat (1) reklamasi areal bekas tambang harus dilakukan secepatnya sesuai dengan rencana dan persyaratan yang telah ditetapkan, dan ayat (2), reklamasi dinyatakan selesai setelah disetujui oleh Dirjen. Pada Pasal 13 ayat (1), Kepala Teknik Tambang wajib menanami kembali daerah bekas tambang, termasuk daerah sekitar project area sesuai studi AMDAL yang bersangkutan.